Kamis, 21 Juli 2011

transportasi


TUGAS PEMASARAN KOPERASI

ump

OLEH :




FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN EKONOMI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO



DAFTAR ISI




DAFTAR ISI                                                                           i

BAB  I        PENDAHULUAN                                                          1

BAB  II       PEMBAHASAN                                                  9

BAB  III      PENUTUP                                                           15

DAFTAR PUSTAKA




BAB 1
 PENDAHULUAN
Transportasi adalah pemindahan manusia, hewan  atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah wahana yang digerakkan oleh manusia dan atau mesin. Transportasi digunakan untuk memudahkan manusia dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
Alat Transportasi sendiri dibagi 3 yaitu, transportasi darat, transportasi laut dan transportasi udara.
TRANSPORTASI DARAT
Sarana Angkutan Jalan Raya :
Angutan Jalan adalah kendaraan yang  diperbolehkan untuk menggunakan jalan. Angkutan jalan ini diantaranya adalah :
1.       Sepeda Motor, adalah kendaraan bermotor beroda 2 (dua), atau 3 (tiga) tanpa atap baik dengan atau tanpa kereta di samping.
2.       Mobil Penumpang, adalah setiap kendaraan bermotor yang dilengkapi sebanyak-banyaknya 8 (delapan) tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi, baik dengan maupun tanpa perlengkapan pengangkutan bagasi.
3.       Mobil Bus, adalah setiap kendaraan bermotor yang dilengkapi lebih dari 8 (delapan) tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi, baik dengan maupun tanpa perlengkapan pengangkutan bagasi.
1
2
4.       Mobil Barang, adalah setiap kendaraan bermotor selain dari yang termasuk dalam sepeda motor, mobil penumpang dan mobil bus.
Angkutan darat selain mobil, bus ataupun sepeda motor yang lazim digunakan oleh masyarakat, umumnya digunakan untuk skala kecil, rekreasi, ataupun sarana sarana di perkampungan baik di kota maupun di desa. Diantaranya adalah : sepeda, becak, bajaj, bemo dan delman.
Sarana Angkutan Kereta Api :
Kereta api adalah sarana transportasi berupa kendaraan dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan kendaraan lainnya, yang akan ataupun sedang bergerak di rel. Kereta api merupakan alat transportasi massal yang umumnya terdiri dari lokomotif (kendaraan dengan tenaga gerak yang berjalan sendiri) dan rangkaian kereta atau gerbong (dirangkaikan dengan kendaraan lainnya). Rangkaian kereta atau gerbong tersebut berukuran relatif besar sehingga mampu memuat penumpang maupun barang dalam skala besar. Karena sifatnya sebagai angkutan massal efektif, beberapa negara berusaha memanfaatkannya secara maksimal sebagai alat transportasi utama angkutan darat baik di dalam kota, antarkota, maupun antar negara.
Prasarana Transportasi Darat :
Jalan dan Jembatan,  adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas

3
permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Rel Kereta, digunakan pada jalur kereta api. Rel mengarahkan/memandu kereta api tanpa memerlukan pengendalian. Rel merupakan dua batang rel kaku yang sama panjang dipasang pada bantalan sebagai dasar landasan. Rel-rel tersebut diikat pada bantalan dengan menggunakan paku rel, sekrup, penambat, atau penambat e (seperti penambat Pandrol).
Jenis penambat yang digunakan bergantung kepada jenis bantalan yang digunakan. Puku ulir atau paku penambat digunakan pada bantalan kayu, sedangkan penambat e digunakan untuk bantalan beton atau semen. Rel biasanya dipasang di atas badan jalan yang dilapis dengan batu kericak atau dikenal sebagai Balast. Balast berfungsi pada rel kereta api untuk meredam getaran dan lenturan rel akibat beratnya kereta api. Untuk menyeberangi jembatan, digunakan bantalan kayu yang lebih elastis ketimbang bantalan beton.
Terminal Transportasi :
*    Terminal bandar udara, sebuah bangunan di bandara
*    Terminal bus, sebuah fasilitas transportasi jalan
*    Stasiun terminal, sebuah stasiun kereta penumpang
*    Terminal container, fasilitas yang menangani perkapalan
Stasiun Kereta Api, adalah tempat di mana para penumpang dan barang  dapat naik-turun dalam memakai sarana transportasi kereta api. Selain stasiun, pada masa lalu dikenal juga dengan halte kereta api yang memiliki fungsi nyaris sama dengan stasiun kereta api.
4
Stasiun kereta api umumnya terdiri atas tempat penjualan tiket, peron atau ruang tunggu, ruang kepala stasiun, dan ruang PPKA (Pengatur Perjalanan Kereta Api) beserta peralatannya, seperti sinyal, wesel (alat pemindah jalur), telepon, telegraf, dan lain sebagainya. Stasiun besar biasanya diberi perlengkapan yang lebih banyak daripada stasiun kecil untuk menunjang kenyamanan penumpang maupun calon penumpang kereta api, seperti ruang tunggu, restoran, toilet, mushalla, area parkir, sarana keamanan (polisi khusus kereta api), sarana komunikasi, depo lokomotif, dan sarana pengisian bahan bakar. Pada papan nama stasiun yang dibangun pada zaman Belanda, umumnya dilengkapi dengan ukuran ketinggian rata-rata wilayah itu dari permukaan laut, misalnya Stasiun Bandung di bawahnya ada tulisan plus-minus 709 meter.
Pada umumnya, stasiun kecil memiliki tiga jalur rel kereta api yang menyatu pada ujung-ujungnya. Penyatuan jalur-jalur tersebut diatur dengan alat pemindah jalur yang dikendalikan dari ruang PPKA. Selain sebagai tempat pemberhentian kereta api, stasiun juga berfungsi bila terjadi persimpangan antar kereta api sementara jalur lainnya digunakan untuk keperluan cadangan dan langsir. Pada stasiun besar, umumnya memiliki lebih dari 4 jalur yang juga berguna untuk keperluan langsir. Pada halte umumnya tidak diberi jalur tambahan serta percabangan. Pada masa lalu, setiap stasiun memiliki pompa dan tangki air serta jembatan putar yang dibutuhkan pada masa kereta api masih ditarik oleh lokomotif uap.
Karena keberadaan stasiun kereta api umumnya bersamaan dengan keberadaan sarana kereta api di Indonesia yang dibangun pada masa zaman Belanda, maka kebanyakan stasiun kereta api merupakan bangunan lama yang dibangun pada
5
masa itu. Sebagian direstorasi dan diperluas, sedangkan sebagian yang lain ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Kebanyakan kota besar, kota kabupaten, dan bahkan kecamatan di Jawa dihubungkan dengan jalur kereta api sehingga di kota-kota tersebut selalu dilengkapi dengan stasiun kereta api. Halte, adalah tempat pemberhentian sementara untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Sekarang ini sering dikenal halte bus dan angkutan kota, dahulu ada juga halte kereta api.
ATCS, Sistem Kendali Lalu lintas Kendaraan atau Auto Traffic Control System (ATCS) adalah pengendalian  lalu lintas dengan menyelaraskan waktu lampu merah pada jaringan jalan raya.

TRANSPORTASI LAUT
Sarana Transportasi Laut :
Kapal, adalah kendaraan pengangkut penumpang dan barang di laut (sungai dsb) seperti halnya sampan atau perahu yang lebih kecil. Kapal biasanya cukup besar untuk membawa perahu kecil seperti sekoci. Sedangkan dalam istilah  inggris, dipisahkan antara  ship yang lebih besar dan boat yang lebih kecil. Berabad-abad lamanya kapal digunakan oleh manusia untuk mengarungi sungai atau lautan. Feri, adalah sebuah sebuah kapal transportasi jarak dekat.Feri mempunyai peranan penting dalam sistem pengangkutan bagi banyak kota pesisir pantai, membuat transit langsung antar kedua tujuan dengan biaya lebih kecil dibandingkan
6
jembatan atau terowong. Sampan (bahasa Tionghoa) adalah sebuah perahu kayu tiongkok yang memiliki dasar yang relatif datar, dengan ukuran sekitar 3,5 hingga 4,5 meter yang digunakan sebagai alat transportasi sungai dan danau atau menangkap ikan.
Sampan dapat mengangkut penumpang  2 – 8 orang, tergantung ukuran sampan. Sampan ada kalanya memiliki atap kecil dan dapat digunakan sebagai tempat tinggal permanen di perairan dekat darat. Sampan biasanya tidak digunakan untuk berlayar jauh dari daratan karena jenis perahu ini tidak memiliki perlengkapan untuk menghadapi cuaca yang buruk.  Kata “sampan” secara harafiah berarti “tiga lembar papan” dalam bahasa Kanton, dari kata Sam (tiga) dan pan (papan). Kata ini digunakan untuk merujuk pada rancangan perahu ini, yang terdiri dari sebuah dasar yang datar (dibuat dari selembar papan); dua lembar papan lainnya dipasang di kedua belah sisinya. Sampan digerakkan dengan sepotong galah, dayung  atau dapat pula dipasangi motor di bagian belakangnya.
Prasarana Transportasi Laut :
Pelabuhan adalah sebuah fasilitas di ujung samudera, sungai atau danau untuk menerima kapal dan memindahkan  barang kargo maupun penumpang ke dalamnya. Pelabuhan biasanya memiliki alat-alat yang dirancang khusus untuk memuat dan membongkar muatan kapal-kapal yang berlabuh. Crane dan gudang berpendingin juga disediakan oleh pihak pengelola maupun pihak swasta yang berkepentingan. Sering pula disekitarnya dibangun fasilitas penunjang seperti pengalengan dan pemrosesan barang.

7
Kata pelabuhan laut digunakan untuk pelabuhan yang menangani kapal-kapal laut. Pelabuhan perikanan adalah pelabuhan yang digunakan untuk berlabuhnya kapal-kapal penangkap ikan serta menjadi tempat distribusi maupun pasar ikan. Klasifikasi pelabuhan perikanan ada 3, yaitu: Pelabuhan Perikanan Pantai, Pelabuhan Perikanan Nusantara, dan Pelabuhan Perikanan Samudera.
Di bawah ini hal-hal yang penting agar pelabuhan dapat berfungsi :
Ø Adanya kanal-kanal laut yang cukup dalam (minimum 12 meter)
Ø Perlindungan dari angin, ombak, dan petir
Ø Akses ke transportasi penghubung seperti kereta api dan truk
Ø Galangan kapal adalah sebuah tempat yang dirancang untuk memperbaiki dan membuat kapal. Kapal-kapal ini dapat berupa yacht, armada militer, cruisine line, pesawat barang atau penumpang.
TRANSPORTASI UDARA
Sarana Transportasi Udara :
Pesawat terbang atau pesawat udara atau kapal terbang atau cukup pesawat saja adalah kendaraan yang mampu terbang di atmosfir atau udara.
Prasarana Transportasi Udara :
Bandar udara atau bandara merupakan sebuah fasilitas tempat pesawat terbang dapat lepas landas dan mendarat. Bandara yang paling sederhana minimal memiliki sebuah landas pacu namun bandara-bandara besar biasanya dilengkapi berbagai fasilitas lain, baik untuk operator layanan penerbangan maupun bagi penggunanya.
8
Menurut ICAO (International Civil Aviation Organization): Bandar udara adalah area tertentu di daratan atau perairan (termasuk bangunan, instalasi dan peralatan) yang diperuntukkan baik secara keseluruhan atau sebagian untuk kedatangan, keberangkatan dan pergerakan pesawat.
Sedangkan definisi bandar udara menurut PT (persero) Angkasa Pura adalah “lapangan udara, termasuk segala bangunan dan peralatan yang merupakan kelengkapan minimal untuk menjamin tersedianya fasilitas bagi angkutan udara untuk masyarakat”.










BAB II
PEMBAHASAN
Akar Masalah Transportasi  yang ada di DKI Jakarta
Menurut saya apa yang terjadi di Jakarta saat ini bukan karena kepadatan penduduk yang banyak datang ke Jakarta dan bukan karena begitu banyaknya sepeda motor atau mobil pribadi..namun masalah utama Jakarta sebenarnya ada beberapa yang harus segera dicari jalan keluarnya oleh Pemda DKI yaitu :
1.Jalan.
Banyaknya mobil pribadi,bus,dan sepeda motor tidak diimbangi dengan tersedianya jalan yang banyak di Jakarta hingga menyebabkan kemacetan parah di seluruh titik-titik rawan kemacetan. Seharusnya Pemda DKI bisa menyediakan jalan yang banyak dan juga jalan-jalan alternatif di seluruh Jakarta agar prediksi yang memberitakan kalau 2015 akan terjadi kemacetan total di Jakarta tidak terjadi. Dan jalan-jalan yang tersedia sekarang sudah tidak mampu menampung jumlah kendaraan yang menurut saya sudah melewati batas normal. Seharusnya Pemda DKI bisa mengatasi kemacetan itu,bukannya malahan menyalahkan masyarakat yang menggunakan kendaraan.
Harusnya Pemda DKI bisa menyediakan jalan yang banyak dan besar bagi para pengguna jalan agar waktu para pengguna jalan tidak habis dijalan dan mereka bisa beristirahat dengan tenang di rumah supaya efisiensi kerja mereka tidak terganggu dengan kemacetan.
9
10
Dan agar mereka tidak terlambat tiba di tempat kerja mereka. Satu-satunya cara agar macet ini bisa ditanggulangi adalah dengan menghentikan pembangunan Mall-mall yang tidak perlu yang mana itu salah satu penyebab kemacetan. Dan satu lagi, Pemda DKI harus menghancurkan gedung-gedung yang tidak berpenghuni dan tidak memiliki izin.
2. Keamanan untuk naik angkutan umum.
Sosialisasi Pemda DKI agar masyarakat Jakarta beralih ke angkutan umum saya rasa masih kurang dilakukan. Persoalan paling mendasar adalah "KEAMANAN!".  Itu satu-satunya persoalan paling penting yang harus dibenahi oleh Pemda DKI. Dan satu persoalan paling penting adalah kenyamanan yang mana sampai saat ini belum memuaskan para pengguna angkutan umum. saya harap Pemda DKI serius melihat ini kalau tidak mau kemacetan ini terus berlanjut.
 3.Jaminan dari Pemda DKI untuk menyediakan sarana dan prasarana transportasi.
Kalau Pemda DKI ingin Jakarta ini bebas dari macet, Pemda DKI harus bisa dan mampu menjamin untuk menyediakan sarana dan prasarana transportasi yang cepat,tepat waktu dan aman. Kita bisa lihat pada Singapura,Cina dll,. semua negara itu sukses dalam mengatasi kemacetan, tapi kenapa kita tidak bisa. Selama ini Pemda DKI hanya mengumbar janji-janji manis tanpa ada pembuktian atas janji-janji tersebut. Contoh nyata adalah janji pembangunan Monorail yang justru sampai saat ini tidak ada kelangsungannya dan yang ada hanya tiang-tiangnya saja yang berdiri. Kalau hanya janji,masyarakat tidak akan percaya lagi..lebih baik
11
Pemda DKI tidak berjanji apa-apa daripada hanya membuat malu,lebih baik diam tapi buktinya ada dan bisa dipertanggung jawabkan pada masyarakat Jakarta.
4.Penggunaan sepeda.
Sekarang di Jakarta sudah banyak warga yang beralih menggunakan sepeda untuk menembus kemacetan yang semakin parah dan saya rasa itu langkah yang sangat baik. tapi masalahnya sampai sekarang jalur khusus sepeda belum ada di Jakarta,padahal sepeda adalah salah satu alat untuk mengurangi kemacetan dan juga belum ada tempat parkir khusus sepeda di Jakarta hingga menyebabkan banyak orang yang enggan menggunakan sepeda untuk bepergian atau bekerja..saya harap Pemda DKI bisa memberikan solusi terbaik dalam masalah yang sudah sangat memprihatinkan ini.
Tapi Semenjak dihentikannya pengoperasian trem oleh pemerintah DKI Jakarta era 1970an, bus sudah menjadi sarana transportasi umum yang penting disamping sarana transportasi yang lain. Namun, selama 30 tahun lebih, porsi penggunaan bus semakin menurun dibandingkan dengan kendaraan pribadi (mobil dan sepeda motor, dimana rasio kendaraan pribadi (92%) dan umum (8%) menjadi semakin lebar perbedaannya), sehingga public transport share nya menurun dari sekitar 70% (tahun 1970-an) menjadi 57% (1985) dan 45% (2000). Di sisi lain, paling tidak dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini, angkutan kereta hanya mengangkut sekitar 3% penumpang dan angka penumpang yang tidak membayar (free rider) mencapai 67%. Motorisasi mencapai puncaknya dengan pertumbuhan tertinggi 16% pertahun. Tahun 2004, angka penjualan mobil mencapai 500 ribu unit dan sepeda motor 4,5 juta unit tanpa pertumbuhan pembangunan dan
12
perbaikan kualitas jalan, memperburuk kondisi transportasi Jakarta. Belum lagi bila dikaitkan dengan pelayanan sarana transportasi publik yang sangat minim kualitas, supervisi dan monitoring yang lemah, dan sarana penunjang yang tidak nyaman (terminal), yang bahkan memberikan kesan menyeramkan. Menurunnya public transport share, pertumbuhan jumlah pengguna kendaraan pribadi, dan kualitas dan kuantitas sarana jalan yang kurang optimal inilah yang diyakini menjadi penyebab utama masalah transportasi di Jakarta. 
Sementara itu, isu premanisme di sektor transportasi dan rendahnya kualitas udara perkotaan (urban air quality)  menambah kompleksitas masalah dan merambah area multi-disiplin dan multi-institusi. Sayangnya, efektivitas koordinasi antar lembaga-lembaga terkait dan berwenang untuk pemecahan masalah ini belum terlihat signifikansi hasilnya. 
Proposal Solusi Jangka Pendek: Prioritas Program Bus Priority or Bus Rapid Transit (BRT/Busway) 
Solusi masalah transportasi jangka pendek dapat dicapai dengan efektivitas pemanfaatan busway dan pemadatan kota (land consolidation) atau pemusatan pemukiman penduduk (lihat Diagram 1 dan Gambar 1). Dengan kata lain, jumlah penduduk di sepanjang koridor/sekitar terminal dipadatkan dengan apartemen yang berlantai banyak dan didukung oleh sarana-sarana umum dan sosial seperti pusat perbelanjaan, bank, kantor pos, rumah sakit dan ibadah, dan daerah hijau, sehingga dapat mengundang minat orang-orang tinggal di sekitar koridor. Hal ini direkomendasikan dengan pertimbangan bahwa kota Jakarta ternyata masih dapat dipadatkan sehingga memiliki potensi dukungan kebijakan land consolidation
13
yang sangat potensial. Dengan jumlah pengguna yang lebih padat, biaya yang dikeluarkan setiap pengguna akan menjadi lebih murah. Implementasinya mengacu pada kerangka Rencana Tata Ruang dan Wilayah dan didukung komunikasi intensif kepada masyarakat sehingga menjadi insentif bagi perubahan pola hidup dan cara berpikir masyarakat dalam masalah kepemilikan rumah dan tanah. 
Lebih lanjut, program BRT yang menjadi prioritas utama dalam Pola Transportasi Makro (PTM) merupakan sebuah terobosan yang perlu untuk didukung dan dilanjutkan pembangunannya. Percepatan pembangunan koridor yang masih tertunda seyogyanya menjadi prioritas utama dengan tetap memperhatikan kualitas layanan, pemeliharaan, biaya operasional yang terjangkau dan dukungan tata kelola manajemen BRT yang efektif dan efisien. 
Beberapa dukungan teknis untuk menunjang solusi jangka pendek ini adalah:
v Perlu kebijakan dalam pengembangan sistem transportasi di daerah penyangga (yang berpopulasi padat) ke tempat pemberhentian bus/stasiun, baik dilakukan dengan bantuan perusahaan transportasi swasta maupun pembangunan koridor penyangga baru.
v Distribusi informasi dan simulasi sistem transportasi secara konsisten. Ini dilakukan dengan memanfaatkan media massa untuk distribusi informasi BRT dan tur promosi (promotional tour) kepada lembaga-lembaga (termasuk sekolah-sekolah) yang tertarik dengan BRT.

14
v Perhatian terhadap kualitas dan perawatan sarana dan prasarana BRT, seperti stasiun/pemberhentian dan jembatan penyeberangan untuk menjaga keberlangsungan operasional dengan baik.
v Pengadaan sarana yang memberikan insentif kepada konsumen untuk melakukan park and ride dengan penyediaan tempat parkir yang aman dan baik di area-area tertentu koridor BRT yang pada gilirannya menawarkan pilihan BRT daripada menggunakan kendaraan pribadi.
v Menunjang promosi didalam BRT untuk mendukung biaya operasional dan mengurangi beban subsidi pemerintah dalam hal terjadi defisit. 











BAB III
KESIMPULAN
Permasalahan transportasi dan kemacetan di Jakarta memang kian mencemaskan. Tetapi harus diakui bahwa problem transportasi di Jakarta tidak hanya terkait sistem dan penyediaan sarana angkutan yang memadai .
modern dan manusiawi tetapi juga terkait dengan peran dan perilaku [behavior) penggunajasa transportasi (PJT). Betapapun majunya moda dan sistem transportasi yang dibangun tanpa disertai oleh peran partipatoris dan perilaku positif dari PJT maka sistem tersebut tidak mungkin berjalan sesuai harapan.Sebagai penggunajasa tranportasi (PJT) rutin di Jakarta, kita tentu memiliki peran dan obsesi dalam mewujudkan sebuah sistem transportasi yang manusiawi dan mudah diakses oleh siapapun juga. Meski bukan faktor penentu kebijakan, peran sebagai pengguna jasa transportasi kini sangat diperlukan. Mengapa? Karena sebagai PJT. kita sebenarnya adalah aktor penting dari sebuah sistem makro transportasi. Tanpa pengguna atau penumpang, transportasi tidak mungkin berjalan efektif.Oleh karena itu patut disadari bahwa peran partlsipatoris PJT ini akan berdampak positif bagi kemajuan sistem transportasi di Jakarta.
Peran Partlsipatoris
Beragam peran partisipatoris dapat dilakukan oleh setiap PJT dalam beragam bentuk aksi seperti memberikan usulan, kritikan, sharing, hearing, solusi dan juga advokasi di bidang transportasi kepada para pengambil kebijakan dan stakeholder transportasi di Jakarta.Sebagai aktor.
15
16
PJT memiliki peran signifikan menjadi pressure group yang dapat mempengaruhi pengambil kebijakan dalam merumuskan pembangunan transportasi yang lebih baik. Demokratisasi sewajarnya juga memasuki ranah transportasi ini dimana PJT memiliki akses dalam memberikan beragam masukan bagi perbaikan moda, pelayanan dan sistem transportasi. Oleh karena itu. PJT dapat menyampaikan semua bentuk aspirasinya yang terkait dengan persoalan transportasi di Jakarta ini melalui beragam saluran aspirasi baik melalui DPRD.
Eksekutif maupun melalui Dewan Transportasi Kota (DTK) Jakarta yang merupakan wadah bersama dalam merumuskan beragam usulan tentang kebijakan pentransportasian di ibukota ini. PJT yang kritis konstruktif sebenarnya adalah aset yang dapat memajukan dunia transportasi. Dalam keseharian, PJT juga dapat melakukan serangkaian aktivitas partislpatorisnya dalam bentuk mengawasi kegiatan transportasi di jalan dimana dia sebagai penggunajasa angkutan umum balk seperti angkot, bus atau kereta api.
Seorang PJT dapat berperan sebagi watch dog jika melihat penyimpangan yang terjadi dalam proses transportasi seperti mempertanyakan kenaikan tarif diatas kewajaran, menegur sopir yang ugal-ugalan dan sebagai. Jika perilaku partisipatoris ini dilakukan secara massif oleh setiap pengguna jasa transportasi, kita patut optimistis pelayanan transportasi di Jakarta akan membaik. Tentu saja sikap partisipatoris ini membutuhkan can do spirit dan kesadaran tanggungjawab dari semua PJT.


17
Masalah Bersama
Peran PJT partisipatoris memang tidak serta menyelesaikan beragam permasalahan transportasi yang mendera Ibukota saat ini. Bermacam problem seperti kemacetan, sarana transportasi yang tak layak Jalan, polusi kendaraan yang kian mengkhawatirkan, hingga kini memang belum menemukan solusi yang tepat.Wacana moda transportasi massal (MRT) diangkat sebagai solusi bagi Jakarta. Kemunculan busway yang awalnya disambut positif kini mulai didera beragam persoalan/yang menuntut penyelesaian cepat para pemangku kebijakan agar layanan bagi PJT kian baik. Intinya. Jakarta memang membutuhkan beragam masukan konstruktif dan partisipasi publik tentang apa yang harus dilakukan Pemda DKI Jakarta, termasuk merumuskan skala prioritas kebijakan tersebut.
Disinilah peran yang bisa dimainkan PJT yang memiliki rasa tanggungjawab terhadap perbaikan sistem transportasi di Jakarta.Kita harus sadari, permasalahan transportasi di Jakarta tidak mungkin hanya di bebani kepada Pemda DKI Jakarta dan DPRD saja tetapi juga menuntut kita untuk senantiasa proaktif dalam mengambil peran sebagai pengguna moda transportasi.Apapun profesi kita, sebagai PJT kita harus mulai membiasakan diri memberikan tawaran solusi dan kritikan kepada stakeholder.Tanpa partisipasi publik kita khawatir sistem transportasi hanya bermuara kepada economi minded yang hanya mencari keuntungan semata. Sehingga dengan partisipasi kita dapat terlibat langsung dan tidak langsung dalam menikmati layanan transportasi.


18
Ada kata bijak, jika ingin melihat sesuatu lihatlah kondisi masyarakatnya. Jika ingin layanan transportasi di Jakarta ini bertambah baik maka lihatlah PJT-nya. jika dia peduli maka layanan transportasi akan semakin baik. Tapi jika PJT tidak peduli, acuh tak acuh dan ewuh pakewuh dalam memberikan kritikan boleh jadi kesuraman dan kesemrawutan sistem transportasi di Ibukota ini akan sulit diselesaikan secara baik. Sebagai PJT tentu kita juga memiliki harapan akan munculnya sistem transportasi yang menjamin kemudahan bagi siapa saja. Ketersediaan dan kelayakan moda transportasi modern saat ini merupakan kebutuhan primer bagi masyarakat.
Meski demikian, kemajuan sistem transportasi sekali lagi amat didukung oleh perilaku kita sebagai PJT yang cerdas, kritis, taat hukum dan bertanggungjawab. Oleh karena itu penumbuhan sikap PJT partisipatoris ini harus diawali oleh kesadaran pribadi dan internalisasinya dapat dilakukan melalui pengenalan budaya transportasi yang baik di kalangan pelajar, pemuda dan anggota masyarakat lainnya.Harus pula ada political will dan political action dari semua stakeholder khususnya Pemda DKI Jakarta untuk membangkitkan partisipasi warganya berperan serta dalam menata transportasi di Ibukota ini. Karena problem transportasi adalah permasalahan yang harus dicari solusinya secara bersama-sama.




DAFTAR PUSTAKA
Abubakar I., 2000, Pengembangan Transportasi Darat Nasional Memasuki Milenium Ketiga, Disampaikan pada Seminar Sehari Sekolah Tinggi Manajemen Transport Trisakti Jakarta, 26 Januari 2000
Departemen Permukiman Dan Prasarana Wilayah Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Strategi Dan Konsepsi Pengembangan Kawasan Perbatasan Negara, Bahan Rapat Kebijakan dan Program Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perbatasan, Bappenas, 8 Agustus 2002
Khisty, C. J. (1986). Undergraduate Transportation Engineering Education. Transportation Research Record.
Miro Fidel (2003). Dasar-dasar Rekayasa Transportasi/Edisi/ Ke-3/Jilid  1. Penerbit Erlangga.
www. Google.com
www. Yahoo.com


KEBIJAKAN PUBLIK DALAM EKSTERNALITAS


KEBIJAKAN PUBLIK DALAM EKSTERNALITAS 

BAB  I
 PENDAHULUAN
          Dalam suatu perekonomian modern, setiap aktivitas mempunyai keterkaitan dengan aktivitas lainnya.  Apabila semua keterkaitan antara suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan melalui mekanisme pasar atau melalui suatu sistem, maka keterkaitan antar berbagai aktivitas tersebut tidak menimbulkan masalah.  Akan tetapi banyak pula keterkaitan antar kegiatan yang tidak melalui mekanisme pasar sehingga timbul berbagai macam masalah.  Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar adalah apa yang disebut dengan eksternalitas.
          Secara umum dapat dikatakan bahwa eksternalitas adalah suatu efek samping dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, baik dampak yang menguntungkan maupun yang merugikan.
          Dalam literatur asing, efek samping mempunyai istilah seperti : external effects, externalities, neighboorhood effects, side effects, spillover effects (Mishan, 1990).  Efek samping dari suatu kegiatan atau transaksi ekonomi bisa positif (positive external effects, external economic) maupun negatif (negative external effects, external diseconomic).  Dalam kenyataannya, baik dampak negatif maupun efek positif bisa terjadi secara bersamaan dan simultan.  Dampak yang menguntungkan misalnya seseorang yang membangun sesuatu pemandangan yang indah dan bagus pada lokasi tertentu mempunyai dampak positif bagi orang sekitar yang melewati lokasi tersebut.  Sedangkan dampak negatif misalnya polusi udara, air dan suara.  Ada juga ekternalitas yang dikenal sebagai eksternalitas yang berkaitan dengan uang (pecuniary externalities) yang muncul ketika dampak eksternalitas itu disebabkan oleh meningkatnya harga.  Misalnya, suatu perusahaan didirikan pada lokasi tertentu atau kompleks perumahan baru dibangun, maka harga tanah tersebut akan melonjak tinggi.  Meningkatnya harga tanah tersebut menimbulkan dampak external yang negatif terhadap konsumen lain yang ingin membeli tanah disekitar daerah tersebut.
          Dalam contoh di atas efek tersebut dalam perubahan harga tanah, dimana kesejahteraan masyarakat berubah tetapi perubahan itu akan kembali ke keadaan keseimbangan karena setiap barang akan menyamakan rasio harga-harga barang dengan marginal rate of substitution (MRS).  Jadi, suatu fakta bahwa tindakan seseorang dapat mempengaruhi orang lain tidaklah berarti adanya kegagalan pasar selama pengaruh tersebut tercermin dalam harga-harga sehingga tidak terjadi ketidak efisienan dalam perekonomian.
          Jadi, yang dimaksud dengan eksternalitas hanyalah apabila tindakan seseorang mempunyai dampak terhadap orang lain atau segolongan orang lain  tanpa adanya kompensasi apapun juga sehingga timbul inefisiensi dalam alokasi faktor produksi.
BAB II
JENIS DAN FAKTOR PENYEBAB EKSTERNALITAS
A.  JENIS-JENIS EKSTERNALITAS
Efisiensi alokasi sumberdaya dan distribusi konsumsi dalam ekonomi pasar dengan kompetisi bebas dan sempurna bisa terganggu, jika aktivitas dan tindakan invividu pelaku ekonomi baik produsen maupun konsumen mempunyai dampak (externality) baik terhadap mereka sendiri maupun terhadap pihak lain.  Eksternalitas itu dapat terjadi dari empat interaksi ekonomi berikut ini :
a)                              Efek atau dampak satu produsen terhadap produsen lain (effects of producers on other producers).
b)                              Efek atau dampak samping kegiatan produsen terhadap konsumen (effects of producers on consumers)
c)                              Efek atau dampak dari suatu konsumen terhadap konsumen lain (effects of consumers on consumers)
d)                              Efek akan dampak dari suatu konsumen terhadap produsen (effects of consumers on producers)
1.  Dampak Suatu Produsen Terhadap Produsen Lain
          Suatu kegiatan produksi dikatakan mempunyai dampak eksternal terhadap produsen lain jika kegiatannya itu mengakibatkan terjadinya perubahan atau penggeseran fungsi produksi dari produsen lain.  Dampak atau efek yang termasuk dalam kategori ini meliputi biaya pemurnian atau pembersihan air yang dipakai (eater intake clen-up cost) oleh produsen hilir (downstream producers) yang menghadapi pencemaran air (water polution) yang diakibatkan oleh produsen hulu (upstream producers).  Hal ini terjadi ketika produsen hilir membutuhkan air bersih untuk proses produksinya.  Dampak kategori ini bisa dipahami lebih jauh dengan contoh lain berikut ini.  Suatu proses produksi (misalnya perusahaan pulp) menghasilkan limbah residu produk sisa yang beracun dan masuk ke aliran sungai, danau atau semacamnya, sehingga produksi ikan terganggu dan akhirnya merugikan produsen lain yakni para penangkap ikan (nelayan).  Dalam hal ini, kegiatan produksi pulp tersebut mempunyai dampak negatif terhadap produksi lain (ikan) atau nelayan, dan inilah yang dimaksud dengan efek suatu kegiatan produksi terhadap produksi komoditi lain.
2.  Dampak Produsen Terhadap Konsumen
          Suatu produsen dikatakan mempunyai eksternal efek terhadap konsumen, jika aktivitasnya merubah atau menggeser fungsi utilitas rumah tangga (konsumen).  Dampak atau efek samping yang sangat populer dari kategori kedua yang populer adalah pencemaran atau polusi.  Kategori ini meliputi polusi suara (noise), berkurangnya fasilitas daya tarik alam (amenity) karena pertambangan, bahaya radiasi dari stasiun pembangkit (polusi udara) serta polusi air, yang semuanya mempengaruhi kenyaman konsumen atau masyarakat luas.  Dalam hal ini, suatu agen ekonomi (perusahaan/produsen) yang menghasilkan limbah (waste products) ke udara atau ke aliran sungai mempengaruhi pihak dan agen lain yang memanfaatkan sumber daya alam tersebut dalam berbagai bentuk.  Sebagai contoh, kepuasan konsumen terhadap pemanfaatan daerah-daerah rekreasi akan berkurang dengan adanya polusi udara.
3.      Dampak Konsumen Terhadap Konsumen Lain
          Dampak konsumen terhadap konsumen yang lain terjadi jika aktivitas seseorang  atau kelompok tertentu mempengaruhi atau mengganggu fungsi utilitas konsumen yang lain.  Konsumen seorang individu bisa dipengaruhi tidak hanya oleh efek samping  dari kegiatan produksi tetapi juga oleh konsumsi oleh individu yang lain.  Dampak atau efek dari kegiatan suatu seorang konsumen yang lain dapat terjadi dalam berbagai bentuk.  Misalnya, bisingnya suara alat pemotong rumput tetangga, kebisingan bunyi radio atau musik dari tetangga, asap rokok seseorang terhadap orang sekitarnya dan sebagainya.
4.      Dampak Konsumen Terhadap Produsen
          Dampak konsumen terhadap produsen terjadi jika aktivitas konsumen mengganggu fungsi produksi suatu produsen atau kelompok produsen tertentu.  Dampak jenis ini misalnya terjadi ketika limbah rumahtangga terbuang ke aliran sungai dan mencemarinya sehingga mengganggu perusahaan tertentu yang memanfaatkan air baik oleh ikan (nelayan) atau perusahaan yang memanfaatkan air bersih.
          Lebih jauh Baumol dan Oates (1975) menjelaskan tentang konsep ekternalitas dalam dua pengertian yang berbeda :
a)                              Eksternalitas yang bisa habis (a deplatable externality) yaitu suatu dampak eksternal yang mempunyai ciri barang individu (private good or bad) yang mana jika barang itu dikonsumsi oleh seseorang individu, barang itu tidak bisa dikonsumsi oleh orang lain.
b)                              Eksternalitas yang tidak habis (an undeplate externality) adalah suatu efek eksternal yang mempunyai ciri barang publik (public goods) yang mana barang tersebut bisa dikonsumsi oleh seseorang, dan juga bagi orang lain.  Dengan kata lain, besarnya konsumsi seseorang akan barang tersebut tidak akan mengurangi konsumsi bagi yang lainnya.
Dari dua konsep eketernalitas ini, eksternalitas jenis kedua merupakan masalah pelik/rumit dalam ekonomi lingkungan.  Keberadaan eksternalitas yang merupakan barang publik seperti polusi udara, air, dan suara merupakan contoh eksternalitas jenis yang tidak habis, yang memerlukan instrumen ekonomi untuk menginternalisasikan dampak tersebut dalam aktivitas dan analisa ekonomi.
B.  FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB EKSTERNALITAS
Eksternalitas timbul pada dasarnya karena aktivitas manusia yang tidak mengikuti prinsip-prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan.  Dalam pandangan ekonomi, eksternalitas dan ketidakefisienan timbul karena salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip alokasi sumber daya yang efisien tidak terpenuhi.   Karakteristik barang atau sumberdaya publik, ketidaksempurnaan pasar, kegagalan pemerintah merupakan keadaan-keadaan dimana unsur hak pemikiran atau pengusahaan sumber daya (property rights) tidak terpenuhi.  Sejauh semua faktor ini tidak ditangani dengan baik, maka eksternalitas dan ketidakefisienan ini tidak bisa dihindari.  Kalau ini dibiarkan, maka ini akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang.  Bagaimana mekanisme timbulnya eksternalitas dan ketidakefisienan dari alokasi sumber daya sebagai akibat dari adanya faktor di atas diuraikan satu persatu berikut ini.
1.  Keberadaan Barang Publik
Barang publik (public goods) adalah barang yang apabila  dikonsumsi oleh individu tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang lain akan barang tersebut.  Selanjutnya, barang publik sempurna (pure public good) didefinisikan sebagai barang yang harus disediakan dalam jumlah dan kualitas yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat.
          Kajian ekonomi sumber daya dan lingkungan salah satunya menitikberatkan pada persoalan barang publik atau  barang umum ini (common consumption, public goods, common property resource).  Ada dua ciri utama dari barang publik ini.  Pertama, barang ini merupakan konsumsi umum yang dicirikan oleh penawaran gabungan (joint supply) dan tidak bersaing dalam mengkonsumsinya (non-rivalry in consumption).  Kedua adalah tidak ekslusif (non-exclusive) dalam pengertian bahwa penawaran tidak hanya diperuntukan untuk seseorang dan mengabaikan yang lainnya.  Barang publik yang berkaitan dengan lingkungan meliputi udara segar, pemandangan yang indah, rekreasi, air bersih, hidup yang nyaman dan sejenisnya.
          Satu-satunya mekanisme yang membedakannya adalah dengan menetapkan harga (nilai moneter) terhadap barang publik tersebut sehingga menjadi barang privat (dagang) sehingga benefit yang diperoleh dari harga itu bisa dipakai untuk  mngendalikan atau memperbaiki kualitas lingkungan itu sendiri.   Tetapi dalam menetapkan harga ini menjadi masalah tersendiri dalam analisa ekonomi lingkungan.   Karena ciri-ciri di atas, barang publik tidak diperjual belikan sehingga tidak memiliki harga, barang publik dimanfaatkan berlebihan dan tidak mempunyai insentif untuk melestarikannya.  Masyarakat atau konsumen cendrung acuh tak acuh untuk menentukan harga sesungguhnya dari barang publik ini.  Dalam hal ini, mendorong sebagian masyarakat sebagai “free rider”.  Sebagai contoh, jika  si A mengetahui bahwa barang tersebut akan disediakan oleh si B, maka si A tidak mau membayar untuk penyediaan barang tersebut dengan harapan bahwa barang itu akan disediakan oleh si B, maka si A tidak mau membayar untuk penyediaan barang tersebut dengan harapan bahwa barang itu akan disediakan oleh si B.  Jika akhirnya si B berkeputusan untuk menyediakan barang tersebut, maka si A bisa ikut menikmatinya karena tidak  seorangpun yang bisa menghalanginya untuk mengkonsumsi barang tersebut, karena sifat barang publik yang tidak ekslusif dan merupakan konsumsi umum.  Keadaan seperti akhirnya cendrung mengakibatkan berkurangnya insentif atau rangsangan untuk memberikan kontribusi terhadap penyediaan dan pengelolaan barang publik.  Kalaupun ada kontribusi, maka sumbangan itu tidaklah cukup besar untuk membiayai penyediaan barang publik yang efisien, karena masyarakat cendrung  memberikan nilai yang lebih rendah dari yang seharusnya (undervalued).
2.  Sumberdaya Daya Bersama
          Keberadaan sumber daya bersama (common resources) atau akses terbuka terhadap sumber daya tertentu  ini tidak jauh berbeda dengan keberadaan barang publik di atas. 
          Sumber-sumber daya milik  bersama, sama halnya dengan barang-barang publik, tidak ekskludabel.  Sumber-sumber daya ini terbuka bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya, dan cuma-cuma.  Namun tidak seperti barang publik, sumber daya milik  bersama memiliki sifat bersaingan.  Pemanfaatannya oleh  seseorang, akan mengurangi peluang bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama.  Jadi, keberadaan sumber daya milik bersama ini, pemerintah juga perlu mempertimbangkan seberapa banyak pemanfaatannya yang efisien.  Contoh klasik tentang bagaimana eksternalitas terjadi pada kasus sumberdaya bersama ini adalah seperti yang diperkenalkan oleh Hardin (1968) yang terkenal dengan  istilah tragedi barang umum (the tragedy of the commons).
3.  Ketidaksempurnaan Pasar
          Masalah lingkungan bisa juga terjadi ketika salah satu partisipan didalam suatu tukar manukar hak-hak kepemilikan (property rights) mampu mempengaruhi hasil yang terjadi (outcome).  Hal ini bisa terjadi pada pasar yang tidak sempurna  (imperfect market) seperti pada kasus monopoli (penjual tunggal).
          Ketidaksempurnaan pasar ini misalnya terjadi pada praktek monopoli dan kartel.  Contoh konkrit dari praktek ini adalah Organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) dengan memproduksi dalam jumlah yang lebih sedikit sehingga mengakibatkan meningkatnya harga yang lebih tinggi dari normal.  Pada kondisi yang demikian akan hanya berakibat terjadinya peningkatan surplus produsen yang nilainya jauh lebih kecil dari kehilangan surplus konsumen, sehingga secara keseluruhan praktek monopoli ini merugikan masyarakat (worse off).
4.  Kegagalan Pemerintah
          Sumber ketidakefisienan dan atau eksternalitas tidak saja diakibatkan oleh kegagalan pasar tetapi juga karena kegagalan pemerintah (government failure).  Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan tarikan kepentingan pemerintah sendiri atau kelompok  tertentu (interest groups) yang tidak mendorong efisiensi.  Kelompok tertentu ini memanfaatkan pemerintah untuk mencari keuntungan (rent seeking) melalui proses politik, melalui kebijaksanaan dan sebagainya.  Aksi pencarian keuntungan (rent seeking) bisa dalam berbagai bentuk :
a)                              Kelompok yang punya kepentingan tertentu (interest groups) melakukan loby dan usaha-usaha lain yang memungkinkan diberlakukannya aturan yang melindungi serta menguntungkan mereka.
b)                              Praktek mencari keuntungan bisa juga berasal dari pemerintah sendiri secara sah misalnya memberlakukan proteksi berlebihan untuk barang-barang tertentu seperti mengenakan pajak impor yang tinggi dengan alasan meningkatkan efisiensi perusahaan dalam negeri.
c)                              Praktek mencari keuntungan ini bisa juga dilakukan oleh aparat atau oknum tertentu yang mempunyai otoritas tertentu, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan bisa  memberikan uang jasa atau uang pelicin untuk keperluan tertentu, untuk menghindari resiko yang lebih besar kalau ketentuan atau aturan diberlakukan dengan sebenarnya.  Praktek mencari keuntungan ini membuat alokasi sumber daya menjadi tidak efisien dan pelaksanaan aturan-aturan yang mendorong efisiensi tidak berjalan dengan semestinya.  Praktek jenis ini bisa mendorong terjadinya eksternalitas.  Sebagai contoh, perusahaan A yang mengeluarkan limbah yang merusak lingkungan.  Berdasarkan perhitungan atau estimasi perusahaan  A harus mengeluarkan biaya (denda) yang besar (misalnya  Rp. 1 milyar) untuk menanggulangi efek dari limbah yang  dihasilkan itu.  Pencari keuntungan (rent seeker) bisa dari perusahaan itu sendiri atau dari pemerintah atau oknum memungkinkan membayar kurang dari 1 milyar agar peraturan sesungguhnya tidak diberlakukan, dan denda informasi ini belum tentu menjadi reveneu pemerintah.  Sehingga akhirnya dampak lingkungan yang seharusnya diselidiki dan ditangani tidak dilaksanakan dengan semestinya sehingga masalahnya menjadi bertambah serius dari waktu ke waktu.
BAB III 
SOLUSI PEMERINTAH DAN SWASTA TERHADAP EKSTERNALITAS
Kita telah menyimak mengapa keberadaan eksternalitas itu dapat mengakibatkan alokasi sumber daya yang dilakukan oleh pasar menjadi tidak efisien.  Namun sejauh ini kita baru mengulas secara sekilas tentang cara-cara mengatasi eksternalitas tersebut.  Dalam prakteknya, bukan hanya pemerintah saja yang perlu dan dapat mengatasi eksternalitas itu, melainkan juga pihak-pihak non pemerintah, baik itu pribadi/kelompok maupun perusahaan/organisasi kemasyarakatan.  Untuk mudahnya, kita sebut saja pihak-pihak non pemerintah tersebut sebagai pihak “pribadi” atau “swasta”.  Pada dasarnya, tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah maupun pihak swasta (perorangan dan kelompok), berkenaan dengan penanggulangan eksternalitas itu sama saja, yakni untuk mendorong alokasi sumber daya agar mendekati kondisi yang optimum secara sosial.  Pada bagian pembahasan berikut kita akan menelaah solusi-solusi atau upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan pribadi atau swasta (private solution) dalam mengatasi persoalan eksternalitas.
A.  REGULASI
Pemerintah dapat mengatasi suatu eksternalitas dengan melarang atau mewajibkan perilaku tertentu dari pihak-pihak tertentu. Sebagai contoh, untuk mengatasi kebiasaan membuang limbah beracun ke sungai, yang biaya sosialnya jauh lebih besar dari   pada   keuntungan   pihak-pihak   yang   melakukannya, pemerintah dapat menyatakannya sebagai tindakan kriminal dan akan mengadili serta menghukum pelakunya. Dalam kasus ini pemerintah menggunakan regulasi atau pendekatan komando dan kontrol untuk melenyapkan eksternalitas tadi.
Namun kasus-kasus polusi umumnya tidak sesederhanana itu. Tuntutan para pecinta lingkungan untuk menghapuskan segala  bentuk polusi, sesungguhnya tidak mungkin terpenuhi, karana polusi merupakan efek sampingan tak terelakkan dari kegiatan produksi industri. Contoh yang sederhana, semua kendaraan bemotor sesungguhnya mengeluarkan polusi. Jika polusi ini hendak dihapus sepenuhnya, maka segala bentuk kendaraan bermotor harus dilarang oleh pemerintah, dan hal ini tidak mungkin  dilakukan.  Jadi,  yang  harus  diupayakan  bukan penghapusan polusi secara total, melainkan pembatasan polusi hingga  ambang  tertentu,  sehingga  tidak  terlalu  merusak lingkungan namun tidak juga menghalangi kegiatan produksi. Untuk  menentukan  ambang  aman  tersebut,  kita  harus menghitung segala untung ruginya secara cermat.  Di Amerika Serikat,   Badan   Perlindungan   Lingkungan   Hidup   (EPA/Environmental Protection Agency) adalah lembaga yang diserahi wewenang dan tugas untuk merumuskan, melaksanakan, dan mengawasi berbagai regulasi yang dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup.
Bentuk regulasi dibidang lingkungan hidup itu sendiri bisa bermacam-macam.  Adakalanya EPA langsung menetapakan batasan polusi yang diperbolehkan  untuk suatu perusahaan. Terkadang EPA mewajibkan pemakaian teknologi atau peralalatan tertentu untuk mengurangi polusi di pabrik-pabrik. Di semua kasus, demi memperoleh suatu peraturan yang baik dan tepat guna, para pejabat pemerintah harus mengetahui spesifikasi dari setiap jenis/sektor industri, dan berbagai alternatif teknologi yang dapat diterapkan oleh industri yang bersangkutan, dalam rangka mengurangi atau membatasi polusi. Masalahnya, informasi seperti ini sulit di dapatkan.
B.  PAJAK PIGOVIAN DAN SUBSIDI
Selain menerapkan regulasi, untuk mengatasi eksternalitas,  pemerintah  juga  dapat  menerapkan  kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada pendekatan pasar, yang dapat memadukan insentif pribadi/swasta dengan efisiensi sosial.
Sebagai contoh, seperti telah disinggung di atas pemerintah dapat menginternalisasikan eksternalitas dengan menggunakan pajak terhadap  kegiatan-kegiatan  yang  menimbulkan  eksternalitas negatif, dan sebaliknya memberi subsidi untuk kegiatan-kegiatan yang memunculkan eksternalitas positif. Pajak yang khusus diterapkan untuk mengoreksi dampak dan suatu ekstemalitas negatif lazim disebut sebagai Pajak Pigovian (Pigowan tax), mengambil  nama  ekonom  pertama  yang  merumuskan  dan menganjurkannya, yakni Arthur Pigou (1877-1959).
Para ekonom umumnya lebih menyukai pajak Pigovian dari pada regulasi sebagai cara untuk mengendalikan polusi, karena biaya penerapan pajak itu lebih murah bagi masyarakat secara keseluruhan. Andaikan ada dua pabrik-pabrik baja dan pabrik kertas-yang masing-masing membuang limbah sebanyak 500 ton per tahun ke sungai. EPA menilai limbah itu terlalu banyak, dan beniat menguranginya. Ada dua pilihan solusi baginya, yakni :
a)                              Regulasi    : EPA mewajibkan semua pabrik untuk mengurangi  limbahnya  hingga 300 ton per tahun.
b)                              Pajak Pigovian :  EPA mengenakan pajak sebesar Rp.5.000.000 untuk setiap ton limbah yang dibuang oleh setiap pabrik.
Regulasi itu langsung membatasi ambang polusi, sedangkan pajak Pigovian memberikan insentif kepada para pemilik pabrik untuk sebanyak mungkin mengurangi polusinya.  Menurut pendapat Anda, solusi manakah yang lebih baik ?.
 Para ekonom lebih meyukai penerapan pajak. Mereka yakin penerapan pajak itu sama sekali tidak kalah efektifnya dalam menurunkan polusi. Untuk mencapai ambang polusi  tertentu, EPA tinggal menghitung tingkat pajak yang paling tepat untuk diterapkannya. Semakin tinggi tingkat pajaknya, akan semakin banyak penurunan polusi yang akan terjadi.  Namun EPA juga harus hati-hati, karena pajaknya terlalu tinggi, polusi akan hilang,  karena  semua  pabrik  bangkrut atau  memilih  tidak beroperasi.
Alasan utama para ekonom itu memilih penerapan pajak, adalah karena cara ini lebih efektif menurunkan polusi. Regulasi mewajibkan semua pabrik mengurangi polusinya dalam jumlah yang sama, padahal penurunan sama rata, bukan merupakan  cara  termurah menurunkan polusi. Ini dikarenakan kapasitas dan keperluan setiap pabrik untuk berpolusi berbeda-beda. Besar kemungkinan salah satu pabrik (misalkan pabrik kertas), lebih mampu (biayanya lebih murah) untuk menurunkan polusi dibanding pabrik lain (pabrik baja). Jika keduanya dipaksa menurunkan polusi sama rata, maka operasi pabrik baja akan terganggu. Namun melalui penerapan pajak, maka pabrik kertas akan segera mengurangi polusinya, karena hal itu lebih murah dan lebih mudah dilakukan dari pada membayar pajak, sedangkan pabrik baja, yang biaya penurunan polusinya lebih mahal, akan memilih membayar pajak saja.
Pada dasarnya, pajak Pigovian secara langsung menetapkan harga atas hak berpolusi. Sama halnya dengan kerja pasar yang mengalokasikan berbagai barang ke pembeli, yang memberikan penilaian paling tinggi pajak Pigovian ini juga mengalokasikan hak berpolusi  kepada  perusahaan  atau  pabrik,  yang  paling  sulit menurunkan polusinya atau yang dihadapkan pada biaya paling tinggi  untuk menurunkan  polusi  (misalkan  karena  biaya  alat penyaring polusinya sangat mahal). Berapapun target penurunan polusi yang diinginkan EPA akan dapat mencapainya dengan biaya termurah melalui penerapan pajak ini.
Para ekonom juga berkeyakinan bahwa penerapan pajak Pigovian, merupakan cara terbaik untuk menurunkan polusi. Pendekatan komando dan kontrol tidak akan memberikan alasan atau insentif bagi pabrik-pabrik pencipta polusi untuk berusaha mengatasi polusi semaksimal mungkin. Seandainya saja polusinya sudah berada dibawah ambang maksimal (misalkan 300 ton per tahun), maka perusahaan itu tidak akan membuang biaya lebih banyak  agar polusinya  dapat ditekan  lebih  rendah  lagi. Sebaliknya, pajak akan memberikan insentif kepada pabrik-pabrik itu untuk terus mengembangkan tekndogi yang ramah terhadap lingkungan. Mereka akan terus terdorong menurunkan polusi, karena semakin sedikit polusi yang mereka ciptakan, akan semakin sedikit pula pajak yang harus mereka bayar.
Pajak Pigovian tidaklah sama dengan pajak-pajak lain, dimana kita mengetahui bahwa pajak pada urnumnya akan mendistorsikan insentif dan mendorong alokasi sumber daya menjauhi  titik  optimum  sosialnya.  Pajak  umumnya  juga menimbulkan beban baku berupa penurunan kesejahteraan ekonomis (turunnya surplus produsen dan surplus konsumen), yang nilainya lebih besar dari pada pendapatan yang diperoleh pemerintah dan pajak tersebut. Pajak Pigovian tidak seperti  itu karena pajak ini memang khusus diterapkan untuk mengatasi masalah ekstemalitas. Akibat adanya eksternalitas, masyarakat harus memperhitungkan kesejahteraan pihak lain. Pajak Pigovian diterapkan   untuk   mengoreksi   insentif  ditengah   adanya eksternalitas, sehingga tidak seperti pajak-pajak lainnya, pajak Pigovian itu justru mendorong alokasi sumber daya mendekati titik optimum sosial. Jadi, selain memberi pendapatan tambahan pada pemerintah, pajak Pigovian ini juga meningkatkan efisiensi ekonomi.
C.  IZIN POLUSI YANG DAPAT DIPERJUAL BELIKAN
Sekarang, mari kita andaikan  EPA (Enviromental Protection Agency) mengesampingkan saran para ekonom, dan menerapkan pendekatan formal. EPA mengeluarkan peraturan yang mengharuskan setiap pabrik, untuk menurunkan limbahnya hingga 300 ton per tahun. Namun, hanya sehari  setelah  peraturan  itu  diumumkan,  pimpinan  dua perusahaan, yang satu dan pabrik baja dan yang lain dari pabrik kertas, datang ke kantor EPA untuk mengajukan suatu usulan.
Pabrik baja perlu menaikkan ambang polusinya, misalnya satu ton per tahun. Agar polusi total tidak bertambah, pengelola pabrik kertas bersedia menurunkan polusinya sebanyak itu, asalkan si pemilik pabrik baja memberikan kompensasi Rp. 5.000.000.- dan permintaan ini sudah disanggupi oleh pemilik pabrik baja. Haruskan EPA mengizinkan kedua pabrik itu melakukan jual-beli hak berpolusi sendiri ?.
Dari sudut pandang efisiensi ekonomi pemberian izin bagi kedua pabrik tersebut akan menjadi kebijakan yang baik. Kesepakatan antara kedua pabrik itu akan menguntungkan keduanya, karena mereka secara sukarela menyetujuinya. Di samping itu, kesepakatan itu tidak akan mengakibatkan dampak eksternal apa pun, karena batas posisi total tidak dilanggar. Jadi, kesejahteraan total akan meningkat kalau EPA mengizinkan kedua pabrik itu melakukan jual-beli hak berpolusi.
Logika yang sama yang berlaku untuk setiap transfer hak berpolusi secara sukarela, dan satu perusahaan ke perusahaan lain.  Jika  kemudian  EPA  memang mengizinkan  hal  itu,  maka sesungguhnya EPA telah menciptakan sumber daya langka yang baru, yakni hak berpolusi. Pasar yang memperdagangkan hak berpolusi ini selanjutnya pasti akan tumbuh dan berkembang, dan pada gilirannya, pasar ini akan tunduk pada kekuatan-kekuatan penawaran  dan  permintaan.  Perusahaan-perusahaan  yang dihadapkan pada biaya yang sangat tinggi untuk berpolusi, pasti akan aktif dipasar itu, karena bagi mereka, membeli hak berpolusi lebih   murah   dibanding   melakukan   investasi   baru   untuk menurunkan   polusi   pabrik-pabrik   mereka.   Sebaliknya, perusahaan-perusahaan yang tidak dihadapkan pada kendala yang berat untuk menurunkan polusi, pasti akan senang hati menjual  haknya  berpolusi  karena  hal  itu  akan  memberinya pendapatan cuma-cuma.
Satu keuntungan dari berkembangnya pasar hak berpolusi ini,  adalah  alokasi/pembagian  awal  izin  berpolusi  dikalangan perusahaan tidak akan menjadi masalah, jika ditinjau dari sudut pandang  efisien  ekonomi.  Logika  yang  melatarbelakangi kesimpulan tersebut mirip dengan mendasari teorema Coase.
Perusahaan-perusahaan yang paling mampu menurunkan polusi akan menjual haknya berpolusi, sedangkan perusahaan yang harus mengeluarkan biaya besar untuk menurunkan polusi, akan menjadi pembelinya. Selama pasar hak berpolusi ini dibiarkan bekerja dengan bebas, maka alokasi akhirnya akan lebih efisien dibanding alokasi awalnya, terlepas dari sebaik apapun alokasi awal tersebut.
Meskipun penurunan polusi melalui pemberlakuan izin polusi nampak berbeda kasusnya dari penerapan pajak Pigovian, sesungguhnya dampak akhir dari kedua kebijakan ini akan sama saja. Dalam kedua kasus ini, perusahaan tetap harus membayar atas polusi yang ditimbulkannya. Dalam kasus pajak Pigovian, perusahaan pencipta polusi harus membayar pajak atau semacam denda kepada pemerintah, atas polusi yang ditimbulkannya itu, sedangkan pada kasus izin polusi, perusahaan harus membeli izin itu dari pemerintah. Bahkan perusahaan-perusahaan yang sudah memiliki izin polusi tetap harus membayar dalam bentuk lain, yakni biaya oportunitas berpolusi berupa pendapatan yang akan mereka peroleh seandainya mereka menjual izin polusi itu dalam sebuah pasar terbuka. Dengan demikian, penerapan pajak Pigovian maupun izin polusi, sama-sama dapat menginternalisasikan eksternalitas, dengan memaksa perusahaan menanggung ongkos tertentu untuk berpolusi.
Kemiripan antara kedua kebijakan itu dapat dilihat secara jelas di pasar polusi. Kedua panel yang terdapat pada gambar dibawah ini sama-sama menunjukkan kurva permintaan atas hak berpolusi. Kurva permintaan ini memperlihatkan bahwa semakin rendah biaya atau harga polusi, akan semakin tinggi permintaan polusi  artinya  perusahaan-perusahaan  akan  lebih  leluasa berpolusi, karena biayanya relatif rendah. Selanjutnya pada gambar (a) dipertihatkan EPA, dalam rangka mengurangi polusi, langsung menetapkan harga polusi dengan cara memberlakukan pajak Pigovian. Dalam kasus ini, kurva penawaran hak berpolusi bersifat elastis sempuma karena perusahaan-perusahaan dapat berpolusi sebanyak pajak yang mereka bayarkan. Disini, kurva permintaan akan menentukan kuantitas polusi. Sedangkan pada gambar (b) EPA secara  langsung  membatasi  kuantitas  polusi  dengan  cara menerbitkan sejumlah izin polusi terbatas. Dalam kasus ini, kurva penawaran hak berpolusi bersifat inelastis sempuma (Karena perusahaan-perusahaan langsung dijatah kuantitas polusinya, sebanyak izin polusi yang ada). Di sini, posisi kurva permintaan akan menentukan harga polusi.
Pajak
Pigovian
P
Harga
Produksi
P
Harga
Priduksi
Penawaran Izin Produksi






http://rudyct.com/PPS702-ipb/04212/rahmanta_g_files/image001.gif

http://rudyct.com/PPS702-ipb/04212/rahmanta_g_files/image002.gif


                                        
           O            Q    Kuantitas Polusi                        0             Q       Kuantitas Polusi   
Gambar (a)  Pajak Pigovian                           Gambar (b)  Izin Polusi
Dalam kedua kasus ini, terlepas dan posisi kurva permintaannya, EPA dapat mencapai sembarang titik pada kurva itu, dengan menetapkan harga polusi melalui pajak Pigovian, atau dengan secara langsung membatasi kuantitas polusi melalui penerbitan izin polusi terbatas.
 Namun dalam beberapa hal, penjualan izin polusi bisa lebih baik dan itu pada penerapan pajak Pigovian. Umpamakan saja EPA suatu ketika ingin membatasi limbah yang dibuang di sungai tidak lebih dari 600 ton. Tetapi karena EPA tidak mengetahui kurva permintaan polusi, maka ia tidak akan dapat memastikan berapa besar pajak yang harus diterapkan untuk mencapai target tersebut. Dalam kasus ini, pemecahan akan diperoleh dengan melelang izin polusi sebanyak 600 ton limbah. Hasil lelang ini akan memberi pendapatan seperti halnya pajak Pigovian.
D.  JENIS-JENIS SOLUSI SWASTA
          Inefisiensi pasar akibat eksternalitas tidak perlu selalu harus atau bisa di atasi dengan penegakan atau peningkatan standar moral atau ancaman penerapan sanksi sosial.  Coba renungkan, mengapa orang-orang secara sadar tidak mau membuang sampah sembarangan ?.  Peraturan resmi yang mengatur tentang sampah memang ada, namun di banyak tempat, peraturan semacam itu tidak dijalankan secara sungguh-sungguh.  Kita tidak mau membuang sampah disembarang tempat juga bukan karena takut dengan peraturan-peraturan semacam itu, namun karena kita mengetahui atau menyadari bahwa tidaklah baik dan tidak patut sejak kita masih kanak-kanak, bahwa kita boleh melakukan sesuatu moral inilah yang kemudian membatasi perilaku dan tindakan kita, agar sedapat mungkin tidak merugikan orang lain.  Dalam bahasa ekonomi, ajaran agama itu meminta kita untuk melakukan internalisasi eksternalitas.
          Contoh lain solusi swasta adalah derma atau amal yang seringkali sengaja diorganisasikan untuk mengatasi suatu eksternalitas.  Contohnya adalah Sierra Club, sebuah organisasi sosial swasta yang sengaja dibentuk untuk turut melestarikan lingkungan hidup.  Organisasi ini mengandalkan pemasukannya dari donasi pihak-pihak yang bersimpati atau iuran anggota.  Hal ini sebagai contoh untuk mengatasi eksternalitas negatif.  Sedangkan untuk eksternalitas positif, kita mengetahui banyak perguruan tinggi yang membentuk yayasan yang menghimpun sumbangan dari para alumni, perusahaan, atau pihak-pihak lain, untuk kemudian disalurkan sebagai beasiswa.
          Pasar swasta terkadang juga mampu mengatasi masalah eksternalitas, dengan membiarkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengatasinya.  Motif utama mereka memang untuk memenuhi kepentingannya sendiri, namun dalam melakukan suatu tindakan, mereka juga sekaligus mengatasi eksternalitas.  Sebagai contoh, kita lihat saja apa yang akan dilakukan oleh seorang petani apel dan seorang peternak lebah yang hidup berdekatan.  Pada saat lebah-lebah itu mencari madu dari satu bunga apel ke bunga lainnya, mereka membantu penyerbukan dan mempercepat pohon-pohon apel itu berubah.  Ia menguntungkan si petani apel.  Sedangkan sipeternak juga untung karena ia tidak perlu memberi makan lebah-lebahnya.  Namun jika kerja sama terselubung yang saling menguntungkan itu tidak diperhitungkan, maka kedua belah pihak bisa merugi.  Jika pohon apel yang ditanam si petani terlalu sedikit, maka lebah-lebah itu akan kekurangan makanan.  Sebaliknya, jika lebah yang  dipelihara si peternak terlalu sedikit, maka proses penyerbukan  tidak lancar.  Eksternalitas ini dapat diinternalisasikan dengan cara penggabungan kedua usaha.  Si petani membeli seluruh atau sebagian usaha peternakan lebah, atau sebaliknya si peternak membeli seluruh atau sebagian pohon apel.  Jiak kedua usaha ini disatukan, maka pengelolanya akan lebih mudah menentukan berapa banyak pohon apel yang harus ditanam, dan berapa ekor lebah yang harus dipelihara, demi membuahkan hasil yang maksimal.  Dalam kenyataannya, niat untuk mengupayakan internalisasi eksternalisasi seperti itulah yang merupakan penyebab mengapa banyak perusahaan yang menekuni lebih dari satu bidang/jenis usaha sekaligus.
          Cara lain di pasar swasta dalam mengatasi eksternalitas adalah penyusunan kontrak atau perjanjian di antara pihak-pihak yang menaruh kepentingan.  Dalam contoh di atas, si petani apel dan sipeternak lebah dapat membuat perjanjian kerja sama, agar masing-masing dapat memberikan eksternalitas positif yang optimal, sekaligus menghilangkan eksternalitas negatifnya (jumlah pohon atau jumlah lebah yang terlalu sedikit).  Dalam perjanjian itu bisa di atur, berapa banyak pohon yang ditanam si petani, dan berapa ekor lebah yang harus dipelihara si peternak.  Jika biaya yang dipikul keduanya tidak sama, maka bisa juga diatur siapa perlu membayar siapa, dan berapa banyak.  Melalui kontrak seperti ini, maka kemungkinan terjadinya inefisiensi yang bersumber dari eksternalitas negatif bisa dihindari, dan kedua belah pihak akan sama-sama lebih untung dibanding kalau keduanya menjalankan usahanya sendiri-sendiri, tanpa memperhitungkan kepentingan pihak lain.
E.  TEORAMA  COASE
          Sejauh mana solusi swata tersebut mampu mengatasi masalah eksternalitas ?.  Ada sebuah pemikiran yang disebut teorema Coase (Coase therem) mengambil nama perumusnya yakni ekonom Ronald Coase yang menyatakan bahwa solusi swasta bisa sangat efektif seandainya memenuhi satu syarat.  Syarat itu adalah pihak-pihak yang berkepentingan dapat melakukan negosiasi atau merundingkan langkah-langkah penanggulangan masalah ekternalitas yang ada diantara mereka, tanpa menimbulkan biaya khusus yang memberatkan alokasi sumber daya yang sudah ada.  Menurut teorema Coase, hanya jika syarat itu terpenuhi, maka pihak swasta itu akan mampu mengatasi masalah eksternalitas dan meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya.  Untuk lebih memahami makna teorema Coase, simaklah contoh berikut :
          Di sebuah kota tinggal seseorang bernama Dick, ditemani anjingnya yang bernama Spot.  Spot ini terus-terusan menggonggong sehingga sangat mengganggu Jane, tetangga  Dick.  Dick memetik manfaat dengan memelihara Spot, berupa rasa aman dan nyaman.  Namun pemeliharaannya atas Spot itu menimbulkan eksternalitas negatif terhadap Jane.   Haruskah  Dick dipaksa mengirim anjing ke lokasi khusus penitipan hewan, ataukah Jane yang harus dipaksa rela begadang sepanjang malam, karena tidak bisa tidur akibat gonggongan Spot ?.
          Pertama-tama, kita perkirakan dahulu seperti apa pemecahan yang dalam secara sosial (untuk semua pihak).   Ada  dua alternatif yang perlu dipertimbangkan, dan untuk itu diperlukan perhitungan atas seberapa banyak nilai keuntungan bagi Dick dengan memelihara Spot, dan berapa kerugian yang harus  ditanggung Jane.  Jika keuntungannya melebihi kerugiannya maka pemecahan yang efisien secara sosial adalah Dick dibiarkan terus  memelihara anjingnya, sedangkan Jane harus rela tidur diiringi gonggongan anjing.   Sebaliknya, jika nilai kerugiannya melampaui nilai  keuntungannya, maka Dick harus menyingkirkan anjingnya.  Menurut teorema Coase, pasar swasta dapat menciptakan sendiri pemecahan yang efisien.   Bagaimana caranya ?.  Sebagai satu contoh, Jane dapat menawarkan sejumlah uang kepada Dick agar menyingkirkan anjingnya.  Dick akan terima tawaran itu, jika uang yang ditawarkan melebihi nilai keuntungannya dalam memelihara Spot.  Melalui tawar menawar, Dick dan Jane akhirnya akan dapat menyepakati jumlah imbalan yang dapat diterima kedua belah pihak, dan seandainya kesepakatan tersebut benar-benar dapat dicapai, maka itu berarti mereka dapat menciptakan sendiri pemecahan atas masalah eksternalits yang mereka hadapi.   Umpamakan saja, nilai keuntungan bagi Dick dari memelihara Spot adalah  Rp. 50.000,- sedangkan kerugian Jane bernilai  Rp. 80.000,-  Dalam kasus ini, Jane dapat menawarkan imbalan sebanyak  Rp. 60.000,- dan  Dick dengan senang hati akan menyingkirkan anjingnya.  Kedua belah pihak akan lebih sejahtera dibanding sebelumnya dan pemecahan efisien pun tercipta.
          Namun ada pula kemungkinan Jane tidak membayar imbalan itu, yakni jika ternyata nilai keuntungan Dick lebih besar dari pada nilai kerugiannya.  Misalkan saja, nilai keuntungan Dick dari memelihara Spot ternyata Rp. 100.000,- sedangkan kerugian Jane akibat gonggongan Spot hanya Rp. 80.000,-  Jika ini kasusnya, maka tentu saja Dick akan menolak tawaran imbalan yang lebih kecil dari Rp. 100.000,- padahal Jane tidak akan mau membayar lebih dari Rp. 80.000,-.  Akibatnya, Dick akan tetap memelihara Spot.  Ditinjau dari perhitungan untung ruginya, kondisi tersebut juga terhitung efisien.
          Semua uraian dalam contoh di atas, tentu saja bertumpu pada asumsi bahwa Dick secara hukum memang dibenarkan memelihara anjingnya yang berisik itu, sehingga Jane tidak bisa mengganggu gugat. Artinya, kita berasumsi bahwa Dick dapat memelihara Spot dengan bebas, dan Jane harus memberinya imbalan agar Dick menyingkirkan anjingnya itu secara sukarela.  Lantas bagaimana jika ternyata hukum berpihak pada Jane, atau jika Jane secara hukum berhak untuk menikmati ketenangan dan ketentraman di rumahnya sendiri.
          Menurut teorema Coase, distribusi awal hak atau perlindungan hukum itu tidak menjadi persoalan, karena tidak ada pengaruhnya terhadap kemampuan pasar dalam mencapai hasil yang efisien.  Misalkan saja, Jane secara hukum dapat menggugat  Dick agar menyingkirkan anjingnya.  Dalam kasus ini, hukum berpihak pada Jane, namun hasil akhirnya tidak akan berubah.  Dalam kasus ini, Dick dapat menawarkan sejumlah imbalan kepada Jane agar ia dapat terus memelihara anjingnya.  Andaikata nilai keuntungan Dick lebih besar daripada kerugian Jane, maka keduanya akan dapat mencapai suatu kesepakatan yang memungkinkan Dick terus memelihara Spot.
          Jadi, terlepas dari distribusi hak pada awalnya, Dick dan Jane tetap berpeluang mencapai kesepakatan.  Meskipun demikian, soal distribusi hak itu bukannya sama sekali tidak relevan, karena distribusi awal itulah yang menentukan distribusi kesejahteraan ekonomi.  Jika Dick yang memiliki hak awal untuk memelihara Spot, maka Jane lah yang harus memberi imbalan dalam kesepakatan yang mereka buat.   Sebaliknya, jika Jane yang mempunyai hak awal untuk hidup tenang, maka Dick yang harus memberi imbalan.  Namun dalam kedua kasus ini, kesepakatan tetap dapat dibuat dalam rangka mengatasi masalah eksternalitas.  Pada akhirnya, Dick hanya akan terus memelihara anjingnya jika nilai keuntungannya melebihi nilai kerugiannya.
          Jadi, dapat disimpulkan bahwa : Teorema Coase menyatakan bahwa pelaku-pelaku ekonomi pribadi/swasta, dapat mengatasi sendiri masalah eksternalitas yang muncul diantara mereka.  Terlepas dari distribusi hak pada awalnya, pihak-pihak yang berkepentingan selalu berpeluang mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak, dan merupakan pemecahan yang efisien.
BAB IV
KESIMPULAN
Dalam beberapa kasus, para anggota masyarakat dapat mengatasi  sendiri  masalah eksternalitas,  tanpa  keterlibatan pemerintah. Menurut teorema Coase, seandainya mereka dapat melakukan tawar menawar secara bebas (tanpa biaya), maka mereka akan dapat mencapai  kesepakatan  bersama, dan melaksanakannya bersama-sama pula sehingga tercapai suatu alokasi yang efisien. Narnun dalam prakteknya, banyak kendala yang tidak memungkinkan berlangsungnya tawar menawar itu. Salah  satu  diantaranya  adalah  terlalu  banyak  pihak  yang berkepentingan.
Kalau orang-orang tidak dapat menyelesaikan  sendiri masalah eksternalitas yang mereka hadapi, maka pemerintah perlu turun tangan. Namun adanya eksternalitas itu tidaklah menjadi alasan untuk sepenuhnya mencampakkan kekuatan pasar. Pemerintah dapat mengatasi persoalan eksternalitas itu tanpa  meninggalkan  pasar,  yakni  dengan  secara  langsung mewajibkan para pembuat keputusan (produsen atau konsumen) menanggung segenap biaya atau akibat yang ditimbulkan oleh prilaku atau tindakan mereka. Contohnya adalah penerapan pajak Pigovian terhadap polusi. Penanggulangan polusi juga dapat dilakukan  melalui  penerbitan  izin  polusi  terbatas.  Hanya perusahaan yang memiliki izin yang boleh menciptakan polusi, itupun dalam kadar yang terbatas. Kedua cara ini pada dasarnya merupakan  upaya  internalisasi  ekstemalitas  polusi.  Dalam prakteknya peran kelompok-kelompok pecinta lingkungan terus meningkat, sehingga kini mereka menjadi kekuatan utama dalam melindungi kelestarian lingkungan hidup. Kekuatan pasar jika dapat diarahkan secara tepat dapat menjadi resep yang paling mujarab untuk mengatasi kegagalan pasar.
DAFTAR  PUSTAKA
Baumol, W.J. 1975. Macroeconomics of Unbalanced Growth.   The Anatomy of Urban Crisis, in American Economic Review.
Boadway, R.W. 1979. Public Sector Economics.  Winthrop Publisher, Inc. Cambridge.
Cullis, J.G. and P.R. Jones. 1992. Public Finance and Public Choice : Analytical Perspective, Mc Graw-Hill Book Company, New York.
Mangkoesoebroto, G. 1997.  Ekonomi Publik. Edisi Ke Tiga. BPFE – Yogyakarta, Yogyakarta.
Mishan. 1990. Public Goods and Natural Liberty. Oxford, Claredon Press, London.
Musgrave, R.A. and Peggy, B.M. 1989. Public Finance in Theory and Practice. Fifth Edition, Mc Graw-Hill Book Company, New York.
Myles, G.D. 1997. Public Economics.  Cambridge University Press, Cambridge.
Nasoetion, A.H. 1992. Pengantar Ke Filsafat Sains. P.T. Pustaka Litera Antarnusa. Bogor.
Pogue, T.F. and L.G. Sgontz. 1978. Government and Economic Choice : An Introduction to Publik Finance, Houghton Mifflin Company, Boston.
Simarmata, Dj.A. 1994. Ekonomi Publik dan External, Ekonomi Tanpa Pasar. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarata.